Dalam Blog ini kita Dapat Mendownload Materi.
TEKNIK PEMERIKSAAN RADIOLOGI PADA KASUS APENDISITIS
(RADANG USUS BUNTU)
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pemeriksaan
radiografi seperti sekarang ini cenderung mulai meninggalkan tradisi
pemeriksaan radiologi konvensional, hal ini dapat dilihat dari berbagai
diagnosis yang memerlukan keterampilan khusus di dalam melakukan
pemeriksaannya. Seperti pemberian media kontras dalam keperluan diagnostic
imejing seperti CT-Scan, MRI, IVP dan lain sebagainya.
Maka
dari itu seorang radiographer sebagai mitra kerja radiologist harus mampu
mengetahui berbagai aspek di dalam pemeriksaan dengan media kontras, salah
satunya yakni pemeriksaan radiologi pada kasus apendisitis (usus buntu) atau
disebut apendicography.
Melihat
pentingnya hal tersebut di atas dalam dunia kerja sebagai radiographer, maka
dalam kesempatan kali ini penulis akan menyajikan makalah mengenai teknik
pemeriksaan radiologi pada kasus apendisitis.
1.2
Identifikasi Masalah
Berdasarkan
uraian di atas dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :
Apa
definisi dari apendisitis?
Bagaimana
teknik pemeriksaan pada kasus apendisitis?
1.3.
Tujuan
Dilihat
dari latar belakang penulisan makalah ini maka dapat disimpulkan tujuan
penulisan makalah ini menjadi dua yakni tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1.
Tujuan Umum
Mengetahui
pengertian dari penyakit apendisitis dan pemeriksaan radiologi yang dilakukan.
1.3.2.
Tujuan Khusus
Memahami
lebih detail mengenai teknik pemeriksaan apendiks atau apendicografi, mulai
dari persiapan pasien sampai dengan kriteria gambaran.
1.4.
Manfaat Penulisan
Manfaat
penulisan ini adalah :
Memberikan
gambaran mengenai pengertian apendisitis.
Memberikan
gambaran mengenai teknik pemeriksaan apendichografi.
TINJAUAN
TEORI
2.1.
Apendisitis (radang usus buntu)
Pendahuluan
Apendisitis
adalah peradangan pada apendix vermiformis (Pierce dan Neil, 2007). Apendisitis
merupakan kasus laporotomi tersering pada anak dan juga pada orang dewasa
(Ahmadsyah dan Kartono, 1995). Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan
sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya.
Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun di negara berkembang
justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan perubahan ekonomi dan gaya
hidup (Lawrence, 2006).
Insidens
pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding kecuali pada umur 20-30 tahun,
insidens laki-laki lebih tinggi, sedangkan pada bayi dan anak sampai berumur
1-2 tahun jarang ditemukan (Syamsuhidajat, 1997).
Diagnosis
harus ditegakkan dini dan tindakan harus segera dilakukam, keterlambatan
penanganan menyebabkan penyulit perforasi dan berbagai akibatnya (Ahmadsyah dan
Kartono, 1995).
Anatomi
dan Fisiologi Appendix
Pada
neonatus, apendix vermiformis (umbai cacing) adalah sebuah tonjolan dari apex
caecum, tetapi seiring pertumbuhan dan distensi caecum, appendix berkembang di
sebelah kiri dan belakang kira-kira 2,5 cm di bawah valva ileocaecal (Lawrence,
2006). Istilah usus buntu yang sering dipakai di masyarakat awan adalah kurang
tepat karena usus buntu sebenarnya adalah caecum. Appendix merupakan organ
berbentuk tabung, panjangnya sekitar 10 cm (3-15 cm). Lumennya sempit di bagian
proximal dan melebar di bagian distal. Namun, pada bayi, appendix berbentuk
kerucut, lebar di pangkal, dan sempit di ujung (Syamsuhidajat, 1997).
Ontogenitas berasal dari mesogastrium dorsale. Kebanyakan terletak
intraperitoneal dan dapat digerakkan. Macam-macam letak appendix :
retrocaecalis, retroilealis, pelvicum, postcaecalis, dan descendentis
(Budiyanto, 2005).
Pangkal
appendix dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter. Garis
diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal appendix
terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney. Ujung
appendix juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari
SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung appendix terletak pada
1/6 lateral dexter garis tersebut (Budiyanto, 2005).
Appendix
menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir tersebut secara normal dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Imunoglobulin sekretoar yang
dihasilkan oleh GULT yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk appendix
adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi
(Syamsuhidajat, 1997).
Etiologi
Apendisitis
Penyebabnya
hampir selalu akibat obstruksi lumen appendix oleh apendikolit, fekalomas
(tinja yang mengeras), parasit (biasanya cacing ascaris), benda asing,
karsinoid, jaringan parut, mukus, dan lain-lain (Subanada, dkk, 2007, Price dan
Wilson, 2006).
Patofisiologi
Setelah
terjadi obstruksi lumen appendix maka tekanan di dalam lumen akan meningkat
karena sel mukosa mengeluarkan lendir. Peningkatan tekanan ini akan menekan
pembuluh darah sehingga perfusinya menurun akhirnya mengakibatkan iskemia dan
nekrosis. Invasi bakteri dan infeksi dinding appendix segera terjadi setelah
dinding tersebut mengalami ulserasi. Infiltrat-infiltrat peradangan tampak di
semua lapisan dan exudat fibrin tertimbun di dalam lapisan serosa. Meskipun
perforasi belum terjadi, organisme-organisme biasanya dapt dibiakan dari mukosa
appendix. Nekrosis dinding appendix mengakibatkan perforasi dan pencemaran
abdomen oleh tinja (Subanada, dkk, 2007; Chandrasoma, 2006).
Gambaran
Klinis
Nyeri
di sekitar umbilikus dan epigastrium disertai anoreksia (nafsu makan menurun),
nausea, dan sebagian dengan muntah. Beberapa jam kemudian nyeri berpindah ke
kanan bawah ke titik Mc Burney disertai kenaikan suhu tubuh ringan (Ahmadsyah
dan Kartono, 1995). Bila appendix terletak retrokolik, rasa nyeri terasa di
daerah pinggang bagian bawah, bila terletak pelvical rasa nyeri dirasakan di
hipogastrium atau di dalam pelvis, dan bila terletak retrocaecal bisa
mengiritasi m. psoas. Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya
nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler).
Iritasi pada psoas dan obturator menimbulkan nyeri panggul. Peristaltik di
daerah appendix menurun. Pada rectal toucher, ada nyeri pada arah jam 10-11
merupakan petunjuk adanya perforasi (Subanada, dkk, 2007).
Diagnosis
Banding
Beberapa
penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding (Pierce dan Neil,
2007):
limfadenitis
mesenterica terutama pada anak-anak.
penyakit
pelvis pada wanita : inflamasi pelvis, ISK, kehamilan ektopik, ruptur kista
korpus luteum, endometriosis externa.
lebih
jarang : penyakit Crohn, kolesistitis, perforasi ulkus duodenum, pneumonia
kanan bawah.
jarang
: perforasi karsinoma caecum, diverkulitis sigmoid
Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan bila memenuhi (Pierce dan Neil, 2007):
gambaran
klinis yang mengarah ke appendisitis.
laboratorium
: lekositosis ringan, lekosit > 13.000 /dl biasanya pada perforasi, terdapat
pergeseran ke kiri (netrofil segmen meningkat).
USG
untuk massa appendix dan jika masih ada keraguan untuk menyingkirkan kelainan
pelvis lainnya.
laporoskopi
biasanya digunakan untuk menyingkirkan kelainan ovarium sebelum dilakukan
apendiktomi pada wanita muda.
CT
scan pada usia lanjut atau dimana penyebab lain masih mungkin.
Penatalaksanaan
Bila
diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendiktomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindak bedah sambil
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendiktomi bisa
dilakukan secara terbuka atau pun dengan cara laporoskopi. Pada apendisitis
tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada
apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata (Syamsuhidajat, 1997).
Komplikasi
Beberpa
komplikasi yang dapat terjadi :
1.
Perforasi
Keterlambatan
penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix
akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi,
nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung.
Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun
sampai menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997).
2.
Peritonitis
Peradangan
peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari
apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu,
aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian
menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus
menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala
: demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan,
dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).
3.
Massa Periapendikuler
Hal
ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi
pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak
peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix
dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih
terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis,
lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah
mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi,
tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan
ringan, lekosit dan netrofil normal (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).
Prognosis
Apendiktomi
yang dilakukan sebelum perforasi prognosisnya baik. Kematian dapat terjadi pada
beberapa kasus. Setelah operasi masih dapat terjadi infeksi pada 30% kasus
apendix perforasi atau apendix gangrenosa.
Pencegahan
Sering
makan makanan berserat dan menjaga kebersihan.
2.2.
Patology
Bila
terjadi peradangan dan appendik dapat mengakibatkan :
Masuknya
lumen usus ke dalam perut : peritonitis
Terbentuknya
Abses
Pada
wanita , indung telur dan salurannya dapat menyebabkan kemandulan
Masuknya
kuman dalam pembuluh dara
PEMBAHASAN
DAN HASIL
3.1.
Appendikografi
DEFINISI
:
Appendikografi
: Teknik pemeriksaan radiologi untuk memvisualisasikan appediks dengan
menggunakan kontras media positif barium sulfat .
Dapat
dilakukan :
- Secara oral
- Ecara anal
PERSIAPAN
PASIEN
- 48 jam sebelum pemeriksaan dianjurkan makan makanan lunak tidak berserat. Misal : bubur kecap
- 12 jam atau 24 jam sebelum pem pasien diberikan 2/3 Dulcolac untuk diminum
- Pagi hari pasien deberi dulkolac supositoria melalui anus atau dilavement
- 4 jam sebelem pemeriksaan pasien harus puasa hingga emeriksaan berlangsung
- Pasien dianjurkan menghindari banyak bicara dan merokok
- PERSIAPAN ALAT
- Pesawat sinar-X yg dilengkapi fluoroskopi & dilengkapi alat bantu kompresi yg berfungsi untuk memperluas permukaan organ yg ada didaerah ileosaekal / memodifikasi posisi pasien supine mjd prone
- Kaset + film
- PERSIAPAN BAHAN
- Bahan kontras barium sulfat dengan perbandingan 1 : 4 sampai 1 : 8
3.2.
Teknik Pemeriksaan
PA/AP
PROJECTION
Posisi
Pasien : Pasien pada posisi pone atau supine, dengan bantal di kepala.
Posisi
Objek :
- MSP berada di tengah-tengah meja pemeriksaan
- Pastikan tidak ada rotasi
Central
Ray :
- CR tegak lurus terhadap kaset
- CR setingi iliac crest
- SID minimal 100 cm
Struktur
yang tampak :
- Colon bagian transversum harus diutamaka terisi barium.pada posisi PA dan terisi udara pada posisi AP dengan teknik double contrast.
- Seluruh luas usus harus nampak termasuk flexure olic kiri.
- RPO (Right Posterior Oblique)
Posisi
Pasien : 35 to 45o menuju right dan left porterior oblique (RPO atau LPO),
dengan bantal pada bantal
Posisi
Objek :
- Letakan bantal di atas kepala.
- Flexikan siku dan letakan di depan tubuh pasien
- Luruskan MSP dengan meja pemeriksaan dengan abdominal margins kiri dan kanan sama jauhnya dari garis tengah meja pemeriksaan
CENRAL
RAY :
- CRtegak lurus terhadap IR
- Sudutkan CR dengan titik pusat setinggi iliac crest dan sekitar 2,5 cm lateral menuju garis midsaggital plane (MSP).
- SID minimal 100 cm
STRUKTUR
YANG TAMPAK
LPO
– colic flexura hepatic kanan dan ascending & recto sigmoid portions harus
tampak terbuka tanpa superimposition yang significant. RPO- colicflexure kiri
dan descending portions harus terlihat terbuka tanpa superimposition yang
significant.
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Kesimpulan
yang dapat ditarik dari penulisan makalah ini antara lain :
Apendisitis
(radang usus buntu) adalah peradangan pada apendix vermiformi.
Appendikografi
merupakan teknik pemeriksaan radiologi untuk memvisualisasikan appediks dengan
menggunakan kontras media positif barium sulfat, yang dilakukan dengan dua
proyeksi, yakni PA/AP dan RPO atau RAO.
4.2.
Saran
Saran
yang ingin penulis utarakan menyangkut penyusunan makalah ini adalah agar
nantinya sebagai radiografer mampu mempelajari dan memahami lebih lanjut
mengenai teknik pemeriksaan apendicografi mulai dari persiapan pasien, cara
pemberian media kontras hingga kriteria gambar yang dihasilkan.
Cukup Di Baca...Copas Ijin Dulu ya...Lewat FB dulu,alamat ada di sebelah kiri...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar